Wednesday, June 29, 2016

Hot Dewasa Bercinta Dengan Kekasih


Hot Dewasa Bercinta Dengan Kekasih
Ini mengisahkan pengalaman Anton ketika berpacaran dengan Denis, gadis yang telah dikenal dan teman bermain semasa kecil. Lama mereka tidak bertemu. Ketika Anton bertemu lagi dengan Denis, mereka sudah tumbuh dewasa. Pertemuan kembali itu terjadi di sebuah pesta pengantin. Mereka melanjutkannya dengan surat menyurat hingga semakin akrab.

“Hom-pim-pah …”

Andi pun jadi. Ia menutup mata di bawah pohon kersen. Kami, anak-anak yang lain, lari mencari tempat persembunyian. Aku lari ke warung mBok Inah yang sudah tutup. Denis lari mengikutiku. Aku merangkak masuk di bawah meja warung itu, Denis mengikutiku dari belakang. Denis jongkok di sebelahku. Denis dan aku mengintip lewat celah kecil di gedek di bawah meja yang sempit itu mencari kesempatan untuk lari keluar. Entah mengapa, aku selalu merasa senang kalau berada dekat Denis.

Waktu itu rasanya tidak ingin aku keluar dari tempat persembunyianku. Apakah ini yang namanya “cinta anak-anak”? Aku tak tahu. Yang aku tahu Denis memang cantik. Aku juga sadar kalau aku juga ganteng (teman-temanku bilang begitu, kalau aku berkaca kesanku juga begitu). Hingga kalau kami main pangeran-pangeranan, rasanya cocok kalau aku jadi pangeran, Denis jadi puteri. Kan dalam dongeng pangeran selalu ganteng, dan puteri selalu cantik.

Dalam permainan itu Denis diculik oleh raja jahat yang diperankan oleh Burhan sigendut itu. Lalu aku berusaha menyelamatkan sang puteri. Tentu saja pada akhir permainan si raja jahat kukalahkan dan sang puteri kupersunting. Juga dalam permainan lain Denis cuma mau ikut dalam kelompokku. Teman-temanku sering memasang-masangkan aku dengan dia.

Masa kecil kami memang menyenangkan. Sampai tiba saatnya aku harus berpisah dengan teman-temanku karena harus mengikuti ayahku yang ditugaskan di kota lain. Waktu itu aku masih duduk di kelas empat SD. Sejak itu aku tak pernah dengar kabar apa-apa dari teman-temanku itu, termasuk Denis.

12 tahun kemudian.

Aku menghadiri sebuah pesta pengantin. Lagu “The Wedding” mengalun mengiringi para tamu yang asyik menikmati hidangan prasmanan. Gadis-gadis tampak cantik dengan dandanan dan gaun pesta mereka.

Sampai Oom Rahmat, salah seorang pamanku menepuk pundakku.

“Eh Ton, apa kabar?”
“Oh, baik saja oom.”
“Akan kupertemukan kau dengan seseorang, ayo ikut aku.”

Aku mengikuti oom-ku itu menuju ke seorang gadis yang sedang asyik menikmati ice creamnya. Gadis itu mengenakan gaun pesta berwarna kuning dengan bahu terbuka, cantik sekali dia. Begitu aku melihat dia, aku segera teringat pada seseorang.

“Apakah, apakah dia ..?”
“Benar Ton, dia Denis.”
“Nis, ini kuperkenalkan pada temanmu.”

Gadis itu tampak agak terperanjat, tetapi sekalipun terlihat ragu-ragu, tampaknya ia pun mengenaliku.

“Ini Anton, tentu kamu kenal dia,” kata oomku.

Kami bersalaman.

“Wah, sudah gede sekali kamu Nis.”
“Memangnya suruh kecil terus, memangnya kamu sendiri bagaimana?” katanya sambil tertawa.

Tertawanya dan lesung pipinya itu langsung mengingatkanku pada tertawanya ketika ia kecil.

Aku benar-benar terpesona melihat Denis, aku ingat Denis kecil memang cantik, tetapi yang ini memang luar biasa. Apakah karena dandanannya? Ah, tidak, sekalipun tidak berdandan aku pasti juga terpesona. Gaun pestanya yang kuning itu memang tidak mewah, tetapi serasi sekali dengan tubuhnya yang semampai. Bahunya terbuka, buah dadanya yang putih menyembul sedikit di atas gaunnya itu membedakannya dengan Denis kecil yang pernah kukenal.

“Sudah sana ngobrol-ngobrol tentu banyak yang diceritain,” kata oomku seraya meninggalkan kami.
“Tuh ada kursi kosong di situ, yuk duduk di situ,” kataku.

Kamipun berjalan menuju ke kursi itu.

“Bagaimana Nis, kamu sekarang di mana?”

“Aku sekarang di kota S, kamu sendiri di mana?”
“Aku kuliah di kota B, kamu bagaimana?”

Ia terdiam, menyendok ice creamnya lalu melumat dan menelannya, perlahan ia berkata, “Aku tidak seberuntung kamu Ton, aku sudah bekerja. Aku hanya sampai SMA. Yah keadaan memang mengharuskan aku begitu.”

“Bekerja juga baik Nis, tiap orang kan punya jalan hidup sendiri-sendiri. Justeru perjuangan hidup membuat orang lebih dewasa.”

Kira-kira satu jam kami saling menceritakan pengalaman kami. Waktu itu umurku 22, dia juga (sejak kecil aku sudah tahu umurnya sama dengan umurku). Perasaan yang pernah tumbuh di sanubariku semasa kecil tampaknya mulai bersemi kembali. Rasanya tak bosan-bosan aku memandang wajahnya yang ayu itu.

Apakah cinta anak-anak itu mulai digantikan dengan cinta dewasa? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu apakah ia merasakan hal yang sama. Yang pasti aku merasa simpati padanya. Malam itu sebelum berpisah aku minta alamatnya dan kuberikan alamatku.

Sekembali ke kotaku kusurati dia, dan dia membalasnya. Tak pernah terlambat dia membalas suratku. Hubungan kami makin akrab. Suatu ketika ia menyuratiku akan berkunjung ke kotaku mengantar ibunya untuk suatu urusan dagang. Memang setelah ayahnya pensiun,ibunya melakukan dagang kecil-kecilan. Aku senang sekali atas kedatangan mereka. Kucarikan sebuah hotel yang tak jauh dari rumah indekosku. Hotel itu sederhana tetapi cukup bersih.

Pagi hari aku menjemput mereka di stasiun kereta api dan mengantarnya ke hotel mereka. Sore hari, selesai kuliah, aku ke hotelnya. Kami makan malam menikmati sate yang dijual di pekarangan hotel. Pada malam hari kuajak Denis berjalan-jalan menikmati udara dingin kotaku. Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu kami mulai bergandengan tangan, bahkan kadang-kadang kulingkarkan tanganku di bahunya yang tertutup oleh jaket.

Kami berjalan menempuh jarak beberapa kilometer, jarak yang dengan Vespaku saja tidak terbilang dekat. Tetapi anehnya kami merasakan jarak itu dekat sekali. Sekembali di hotel kami masih melanjutkan pecakapan di serambi hotel sampai lewat tengah malam, sementara ibu Denis sudah mengarungi alam mimpi.

Besok sorenya aku ke hotel untuk mengantarkan mereka ke stasiun untuk kembali ke kota mereka. Ketika aku tiba di hotel, ibu Denis sedang mandi, Denis sedang mengemasi barang-barang bawaannya. Aku duduk di kursi di kamar itu. Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk memberikan selamat jalan yang sangat pribadi bagi dia.

Dengan berdebar aku bangkit dari tempat dudukku berjalan dan berdiri di belakangnya, perlahan kupegang kedua bahunya dari belakang, kubalikkan tubuhnya hingga menghadapku.

“Nis, bolehkah … ?”

Ia tampak gugup, ia menghindar ketika wajahku mendekati wajahnya. Ia kembali membelakangiku.

“Sorry Nis, bukan maksudku …”

Ia diam saja, masih tampak kegugupannya, ia melanjutkan mengemasi barang-barangnya. Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, ibu Denis keluar.

Di stasiun, sebelum masuk ke kereta kusalami ibunya. Ketika aku menyalami Denis aku berbisik,

“Nis, sorry ya dengan yang tadi.”

Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya itu.

“Terimakasih Ton atas waktumu menemani kami.”

Hubungan surat-menyurat kami menjadi makin akrab hingga mencapai tahap serius. Aku sering membuka suratku dengan “Denisku tersayang”. Kadang-kadang kukirimi dia humor atau kata-kata yang nakal.

Dia juga berani membalasnya dengan nakal.

Pernah dia menulis begini, “Sekarang di sini udaranya sangat panas Ton, sampai kalau tidur aku cuma pakai celana saja. Tanaman-tanaman perlu disirami (aku juga).”

Membaca surat itu aku tergetar. Kubayangkan ia dalam keadaan seperti yang diceritakannya itu.

Kukhayalkan aku berada di dekatnya dan melakukan adegan-adegan romantis dengannya. Aku merasakan ada tetesan keluar dari diriku akibat khayalan itu. Kuoleskan tetesan itu di kertas surat yang kugunakan untuk membalas suratnya. (Barangkali ada aroma, atau entah apa saja, yang membuat ia merasakan apa yang kurasakan waktu itu. Tetapi aku tak pernah cerita pada dia tentang ini.)

Sampai tiba liburan semester, aku mengunjungi dia. Aku tinggal di rumahnya selama empat malam. Inilah pengalamanku selama empat malam itu.

Aku tiba pagi hari. Setelah makan pagi, aku dan dia duduk-duduk di kamar makan. Aku melihat Denis mengenakan cincin imitasi dengan batu berwarna merah muda di jari manisnya.

“Bagus cincinmu itu. Boleh kulihat?”

Kutarik tangannya mendekat, tetapi aku segera lupa akan cincin itu. Ketika lengannya kugenggam, serasa ada yang mengalir dari tangannya ke tanganku. Jantungku berdebar. Tak kulepas genggamanku, kubawa telapak tanganku ke telapak tangannya. Kumasukkan jari-jariku di sela jari-jarinya. Jari-jarinya yang halus, putih dan lentik berada di antara jari-jariku yang lebih besar dan gelap. Kugenggam dia, dia juga menggenggam. Kuremas-remas jari-jari itu. Dia membiarkannya. Kami berpandangan dengan penuh arti sebelum ia bangkit dengan tersipu-sipu,

“Aku bereskan meja dulu.”

Ia pun membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu ia berkemas-kemas untuk pergi bekerja. Siang itu aku tidak kemana-nama, aku beristirahat sambil membaca buku-buku novel yang kubawa.
Sore harinya aku, Denis dan adiknya menonton film di bioskop. Aku ingat ketika nonton itu aku sempat remas-remasan tangan dengan dia. Setelah pulang nonton kami duduk-duduk di ruang tamu. Saat itu sekitar pukul sembilan. Kami hanya ngobrol-ngobrol biasa karena orang-orang di rumah itu masih belum tidur.

Denis membuat secangkir kopi untukku.

Sekitar pukul 10 rumah mulai sepi, orang tua dan adik Denis sudah masuk ke kamar tidur masing-masing. Hanya tinggal aku dan Denis di ruang tamu. Ia duduk di sofa di sebelah kananku.

Dari ngomong-ngomong biasa aku mulai berani. Kulingkarkan tanganku dibahunya. Denis diam saja dan menunduk. Dengan tangan kiriku kutengadahkan wajahnya, kudekatkan kepalaku ke wajahnya, kutarik dia. Berbeda dengan di hotel waktu itu, ia memejamkan matanya membiarkan bibirku menyentuh bibirnya. Kukecup bibirnya. Cuma sebentar. Hening, segala macam pikiran berkecamuk di kepalaku (kukira juga di kepalanya). Aku merasa jantungku berdegup.

Pelan-pelan tangan kananku kulepas dari bahunya, menyusup di antara lengan dan tubuhnya, dan kutaruh jari-jariku di dadanya. Ia membiarkan dadanya kusentuh. Aku melangkah lagi, jari-jariku kuusap-usapkan di situ. Ia membolehkan bahkan menyandarkan badannya di dadaku. Aku mencium semerbak bau rambutnya.

Aku pun tidak ragu lagi, kuremas-remas dadanya. Ia tetap diam dan tampaknya ia menikmatinya.

Setelah beberapa saat ia menggeser badannya sedikit lalu, seolah tak sengaja, ia menaruh tangannya di pangkuanku, tepat di atas kancing celanaku. Aku tanggap isyarat ini. Kubuka ruitsluiting celanaku, kutarik tangannya masuk ke sela yang sudah terbuka itu. Ia menurut dan ia menyentuh punyaku, jari-jarinya yang tadi pasif sekarang mulai aktif.

Walaupun masih terhalang oleh celana dalam, ia mengusap-usap di situ. Aku melangkah lebih jauh lagi, tanganku yang berada di dadanya sekarang memasuki dasternya, menyusup di sela-sela BH-nya dan kuremas-remas buah dadanya langsung. Buah dadanya memang tidak terlalu besar tetapi cukup kenyal dalam remasanku.

Dia tak mau kalah, tangannya menyusup masuk ke celana dalamku dan langsung menyentuh punyaku lalu mengenggamnya. Bergetar hatiku, baru kali itu punyaku disentuh seorang gadis, gairahku melonjak. Dua kali ia menggerakkan genggamannya ke atas ke bawah dan aku tak tahan … menyemburlah cairanku membasahi jari-jarinya dan celana dalamku. Aku mengeluh dan menyandarkan diriku ke sofa. Ia melepaskan tangannya dari celanaku dan melihat tangannya yang basah.

“Kental ya Ton,” bisiknya.
“Nis, terlalu cepat ya, ini pengalamanku pertama,” kataku kecewa.
“Aku tahu Ton,” ia memahami.
“Kamu ganti dulu, besok aku cuci yang itu,” lanjutnya.

Ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Aku masuk ke kamar mengganti celana dalamku. Ketika keluar Denis sudah berada kembali di situ. Kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami pergi tidur. Aku masuk ke kamarku dan Denis masuk ke dalam, ke kamarnya.

Malam kedua. Ceritanya sama seperti malam pertama. Setelah suasana sepi kami memulai dengan kecup-kecupan. Kalau kemarin hanya kecup bibir sebentar, kali ini aku mencoba lebih. Mula-mula kukecup bibir bawahnya, lalu bibir atasnya, lalu lidahku masuk. Lidahku dan lidahnya bercanda. Aku mengecap rasa manis dan segar di mulutnya, kurasa ia makan pastiles atau permen pedas sebelumnya. Lalu kami main remas-remasan lagi.

Kali itu dia tidak memakai BH hingga lebih mudah bagiku meremas-remas buah dadanya. Seperti kemarin tangannya pun meraba-raba punyaku. Aku sudah khawatir kalau aku akan cepat keluar seperti kemarin, tetapi rupanya tidak. Aku juga ingin melakukan seperti yang dia lakukan. Tanganku menuju ke bawah, kusingkapkan dasternya, tetapi ketika tanganku menuju ke celananya ia menepisnya. Rupanya ia belum mau sejauh itu.

Malam itu kami cuma main remas-remasan saja. Kuremas-remas buah dadanya, dan dia membelai-belai punyaku sementara bibir kami berkecupan. Akhirnya aku tak tahan juga hingga cairanku menyemprot keluar membasahi tangannya, sama seperti kemarin. Tetapi aku lebih senang karena kami bisa bermain-main lebih lama. Aku merasa ada kemajuan, aku lebih percaya diri.

Malam ketiga. Idem dengan malam pertama dan malam kedua, kami mulai dengan kecup-kecupan di sofa. Ketika baru mulai babak remas-remasan aku ingat bahwa aku membawa sebuah buku seksuologi. Kuambil buku itu dan kutunjukkan pada Denis. Kubuka pada halaman yang ada gambar alat genital pria. Kujelaskan padanya cara bekerjanya alat itu.

Dia mendengarkannya dengan perhatian. Seolah guru biologi aku menunjukkan contohnya, kubuka ruitsluiting celanaku. Kuturunkan celana dalamku hingga punyaku menyembul keluar dan kupertontonkan pada Denis. Punyaku memang beda dengan yang di gambar, kalau yang di gambar itu lunglai, punyaku berdiri tegak. Denis memperhatikan punyaku itu.

“Itu lubangnya ada dua ya?” tanyanya, “Satu untuk kencing, satu lagi untuk ngeluarin?”
“Ah, engga. Cuma ada satu,” kataku sambil tertawa. Kubuka lubang kecil itu agak lebar untuk menunjukkan bahwa lubangnya memang cuma satu.

Ujung itu merah mengkilat basah oleh cairan bening. Kubawa telunjuknya mengusapnya dan ia membiarkan jarinya basah. Kemudian jari-jari lentik itu menyusuri urat-urat di situ dari atas ke bawah.

“Rupanya jelek, tapi kok bisa bikin enak ya,” katanya sambil tertawa.
“Eh, tahunya kalau enak. Memang sudah pernah mencoba?” sahutku.
“Katanya sih,” sahutnya sambil tertawa.

Jemarinya pun memain-mainkan punyaku.

“Kalau ini isinya apa?” Candanya sambil memain-mainkan kantung bolaku.
“Biji salak mengkali,” jawabku sambil tertawa. Ia juga tertawa.

Lalu tangannya menggenggam punyaku dan menggosok-gosoknya.

“Jangan keras-keras Nis. Nanti keluar,” bisikku.

Diapun menurut, dia masih menggenggam tetapi tidak menggosok hanya mengusap-usap perlahan.

“Aku punya teka-teki Nis.”
“Apa itu”
“Apa kesamaan daun singkong dan tangan perempuan?” tanyaku.

Dia berpikir,

“Eeem … apa ya. Engga tahu ah. Apa itu?”
“Keduanya kalau buat membungkus daging, dagingnya bisa keras,” kataku.

Ia pun tertawa jari-jarinya lepas sejenak dari punyaku dan memencet hidungku.

“Ada-ada saja kamu.”
“Boleh aku lihat punyamu?” tanyaku.
“Jangan ah,” jawabnya.
“Sebentar saja,” kataku.

Ia pun menurut. Ia membiarkan tanganku menyingkap dasternya dan menurunkan celana dalamnya hingga ke lutut. Aku menelan ludah, baru kali itu aku melihat alat kelamin wanita, sebelumnya aku melihatnya cuma di gambar-gambar. Tanganku pun menuju ke situ. Kuusap-usap rambutnya lalu jariku membuka celah di situ dan kulihat basah di dalamnya.

“Kok basah kuyup begini.”
“Tadi kamu juga.”

Kutengok punyaku, sudah kering memang, karena diusap oleh Denis, tetapi aku melihat di ujungnya mulai membasah lagi.

Aku ingat ketika membaca buku seksuologiku ada bagian yang namanya “labia majora”, ada “labia minora”, ada “clitoris.” Aku mencoba mencari tahu yang mana itu. Aku mencoba membuka celahnya lebih lebar tetapi ia menepis tanganku.

“Sudah ah, malu,” katanya.

Ia kembali menaikkan celana dalamnya.

“Kamu curang Nis. Punyaku sudah kamu lihat dari tadi,” kataku bercanda.
“Kan katamu cuma lihat sebentar.”

Susasana hening. Kupeluk dia. Kembali kami berciuman. Tangannya kembali mengusap-usap punyaku. Tanganku juga menyusup ke celana dalamnya (dasternya masih menyingkap). Dia tidak menolak. Kuusap-usap rambut di balik celana dalam itu dan jari-jariku pun menggelitik di situ. Aku merasakan basahnya. Kurebahkan dia di sofa, kutarik celana dalamnya. Tapi Denis menolak tanganku dan berbisik,

“Di kamar saja Ton.”

Aku sadar, di situ bukan tempat yang tepat.

“Kamu masuk duluan,” katanya.

Akupun masuk ke kamarku melepaskan seluruh pakaianku lalu aku merebahkan diri menunggu Denis.

Setelah beberapa menit Denis masuk membawa handuk kecil lalu mengunci pintu. Ia menghempaskan diri di sisiku. Aku segera tahu bahwa dia tidak mengenakan celana dalam lagi. Segera kulepas dasternya. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi kami.

Tanpa basa-basi lagi kami segera berpelukan dan berkecupan dengan ganas. Tangan-tangan kami saling meraih, menyentuh, meremas apa saja untuk bisa saling menggairahkan. Kugigit putingnya. Ia menggelinjang. Ia bangkit dan membalas dengan mengulum punyaku. Ganti aku yang menggelinjang. Kami melakukan itu mungkin sepuluh menit. Gairah tak tertahankan lagi.

“Ton, masukkan saja…,” bisiknya memohon.

Denis merebahkan dirinya telentang. Aku mengambil posisi di atasnya. Kedua pahanya membuka lebar menampung tubuhku, lalu kedua kakinya, seperti juga kedua tangannya, melingkari tubuhku. Ujung punyaku mencari-cari lubang punyanya. Setelah ketemu aku dorong sedikit. Ia agak mengerang.

“Pelan-pelan Ton,” bisiknya.

Kudorong punyaku pelan-pelan, sekali, dua kali, dan akhirnya tembus. Ia menggelinjang dan mengeluh. Kami berdua merasa di awang-awang. Rasanya bumi ini hanya milik kami berdua. Kami berdua menggerak-gerakkan tubuh kami mencari sentuhan-sentuhan yang paling peka.

Kenikmatan makin meninggi, setelah beberapa saat gerakan tubuhnya makin kencang lalu ia memelukku erat-erat seraya merintih,

“Ton, Ton,…” Aku juga tak tahan dan segera menyusulnya,
“Nis…” Dia memelukku erat, bibir kami berkecupan ketika benihku menyemprot di dalamnya.

Cairanku menyatu dengan cairannya. Selama beberapa menit kami masih dalam posisi itu.

“Ton, aku cuma ingin sama kamu, engga ada yang lain lagi,” katanya.
“Begitu juga aku Nis, aku sayang kamu,” kataku sambil membelai pipinya.

Lalu kukecup bibirnya, mesra dengan segenap perasaanku.

Sekitar 15 menit kami masih berpelukan terbuai oleh pengalaman barusan. Lalu kami bangkit. Aku lap punyaku dengan handuk kecil, dan ia mengelap punyanya, aku lihat ada darah di handuk itu. Lalu kami rebah berhadapan dan kami berpelukan lagi dan tak pakai apa-apa. Kami pun tertidur.

Menjelang pagi kurasakan Denis bangun. Ia akan mengenakan dasternya.

“Aku harus kembali ke kamarku Ton, sudah pagi.”

Tetapi aku menarik tangannya hingga ia kembali rebah di sisiku.

“Masih setengah tiga Nis, di sini dulu.”

Punyaku pun kembali tegang dan keras. Denis melihatnya.

“Rupanya si kecilmu sudah siap lagi Ton,” candanya.

Ia pun bangkit lalu tubuhnya menindih tubuhku yang rebah telentang. Ia mengecupi leherku kiri dan kanan bertubi-tubi. Akhirnya bibir itu mampir di bibirku. Lidahku dan lidahnya berbelitan, sebentar dalam mulutku, sebentar dalam mulutnya.

Lalu ia mengangkat tubuhnya sedikit, mengarahkan lubangnya ke ujung punyaku lalu ia mendorongkan tubuhnya ke belakang hingga punyaku masuk ke dalamnya sepenuhnya. Ia duduk di perutku. Tanganku meremas-remas buah dadanya dan ia menggoyang-goyangkan tubuhnya di atasku. Mula-mula gerakannya tak terlalu cepat tetapi semakin lama ritme gerakannya makin meninggi lalu ia rebah dalam pelukanku, aku mendengar desahnya penuh kenikmatan.

Namun aku masih tegar. Ganti ia yang kutelentangkan, aku berada di atasnya, kugerakkan tubuhku. Beberapa saat kemudian kenikmatanpun menjalar di seluruh tubuhku. Malam itu tak banyak kata-kata yang kami ucapkan, tetapi tubuh-tubuh kami telah saling bicara mencurahkan seluruh perasaan kami yang terpendam selama berbulan-bulan.

Setengah empat ia mengenakan dasternya mengecup pipiku dan kembali ke kamarnya. Aku pun tertidur dengan rasa bahagia.

Malam keempat. Kami mulai dengan bercium-ciuman sebentar di sofa. Kami tak mau berlama-lama di situ, kami pun masuk kamar. Setelah mengunci pintu ia melepaskan dasternya. Aku juga melepaskan pakaianku.

Ternyata di balik daster itu ia mengenakan blouse dan celana mini tipis yang tak terlampau ketat berwarna biru muda. Buah dadanya tidak terlalu besar tetapi cukup menonjol di balik blousenya itu, putingnya tampak jelas di balik blousenya yang transparan itu dan di celananya aku juga bisa melihat rambutnya menerawang.

Aku terpesona melihat Denis berdiri di depanku dengan pakaian begitu seksi. Rambutnya yang bergerai panjang, tubuhya yang semampai sangat serasi dengan yang dipakainya. Aku duduk terpana di tempat tidur memandangnya. Kalau saja aku bisa memotretnya pasti tiap malam kupandangi foto itu dengan penuh pesona.

“Luar biasa Nis, cantik sekali kamu. Di mana kamu beli bajumu itu?”

Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia menuju tempat tidur dan merebahkan diri. Aku pun rebah di sisinya. Kubelai putingnya di balik blousenya itu. Lalu kuusap celananya dan jari-jariku merasakan kemresak rambut-rambut di baliknya.

Lalu kami rebah berhadapan. Kusisipkan punyaku melalui sela celana mininya menyentuh punyanya lalu kudekap dan kucium dia. Beberapa menit kami berciuman. Lalu ia bangkit mengecup dadaku di berbagai tempat.

Kulepas celana mini dan blousenya. Sekarang tak ada apa-apa lagi yang melekat di tubuh kami. Aku duduk dan ia duduk di pangkuanku berhadapan dengan aku. Punya kami saling menempel. Punyaku berdiri tegak dikelilingi oleh rambut-rambutnya dan rambut-rambutku, hingga punyaku tampak seolah-olah punyanya juga. Segera kamipun berdekapan erat, beciuman sambil duduk. Cukup lama kami bercumbu rayu dengan berbagai cara.

Seperti malam sebelumnya, malam itu kami melakukan lagi 2 kali.

Esoknya aku harus kembali ke kotaku. Hari itu Denis mengambil cuti seharian ia menemaniku. Sore hari Denis mengantarku ke stasiun kereta api. Kulihat matanya berkaca-kaca ketika aku menyalami dia.

“Datang lagi ya Ton, malam ini aku akan memimpikanmu,” katanya ketika aku akan menaiki kereta.

Ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun aku masih melihat dia melambaikan tangannya sampai ia hilang dari pandanganku.

“Aku pasti datang lagi Nis,” tanpa sadar kuucapkan kata-kata itu.

Pertemuanku dengan Denis berikutnya terjadi beberapa bulan kemudian. Waktu itu aku sedang menyiapkan skripsi tugas akhirku. Ia mengantar ibunya yang datang untuk suatu urusan dagang ke kota tempat aku studi. Aku sudah minta pada Bu Elly, yaitu ibu indekosku, kalau bisa mereka boleh tinggal di kamarku.

Bu Elly orangnya baik, ia tidak berkeberatan. Ia bilang bahwa di kamar tengah ada kasur dan bantal ekstra serta selimut yang boleh aku pakai. Kuambil kasur dan kugelar di lantai di kamarku yang hanya 3 kali 3 meter. Hatiku ceria menyambut kedatangan Denis.

Besok paginya aku menjemput mereka di stasiun kereta api. Denis memakai celana slacks hitam setinggi betis dan blouse berwarna merah. Rambutnya bergerai panjang. Tak tampak kelelahan pada wajahnya setelah perjalanan semalam. Kukecup pipi Denis dan kusalami ibunya.

Lalu aku bantu mereka membawa barang-barangnya. Dengan taksi kami menuju tempat indekosku. Mereka membawa mangga dan dodol untuk Bu Elly dan juga untukku. Pagi itu mereka istirahat di kamarku dan aku pergi ke kampus. Siangnya kuantar mereka ke relasi dagang ibu Denis.

Sore hari, setelah mandi, aku duduk-duduk di kamar tamu ngobrol dengan Denis sementara ibunya ngobrol dengan Bu Elly di kamar makan. Setelah berbicara tentang berbagai hal, tiba-tiba Denis bertanya,

“Ton, apakah orangtuamu sudah tahu tentang kita?”

Aku belum siap untuk pertanyaan itu.

“Belum Nis, nanti setelah sidang aku akan pulang membicarakan dengan mereka.”

Wajahnya pun murung dan ia menunduk.

“Mengapa Nis?”
“Aku takut Ton. Takut kalau mereka tidak setuju. Kita tidak sederajat. Kamu mahasiswa, sebentar lagi sarjana, aku cuma karyawati.”
“Mengapa kamu bilang begitu? Aku tak peduli soal itu.”

Dia diam saja. Kulihat air matanya menggenang. Kuambil sapu tanganku untuk mengusapnya.

“Ton, aku ingat masa kecil kita. Alangkah senangnya waktu kita anak-anak, kita hanya ingat bermain dan bermain. Adanya cuma senang saja. Tidak ada kesulitan hidup.”

Kugenggam tangannya. Aku merasakan hidupnya tidak mudah. Aku berjanji dalam hatiku akan membahagiakan dia kalau ia kelak menjadi milikku.

“Ton, andaikan kita sampai putus, aku akan pergi jauh … jauh sekali.”
“Mengapa kamu berpikir sampai ke situ Nis?”

Bi Ipah keluar menyuguhkan teh bagi kami. Denis mengusap airmatanya, menyibak rambutnya dan mencoba tersenyum,

“Terima kasih bi.” Setelah Bi Ipah meletakkan gelas-gelas itu di meja dan kembali ke belakang Denis melanjutkan.
“Aku tak punya kepandaian, tak punya apa-apa. Kebanyakan gajiku untuk keperluan rumah dan sekolah Rudi (adiknya).”

Memang ayahnya sudah pensiun dan ibunya dagang kecil-kecilan hingga ia harus membantu membiayai rumah tangganya.

“Kepandaian selalu bisa dicari Nis, setelah ada kesempatan.”

Tiba-tiba aku ingat bahwa aku mempunyai tabungan, hasil dari aku memberi les komputer yang jumlahnya lumayan.

“Nis, aku punya tabungan. Tabungan kita. Hasil memberi les komputer. Sebaiknya kamu saja yang pegang Nis. Kamu lebih tahu cara menggunakan uang. Nanti kutransfer. Dari orang tuaku sudah cukup untukku.”

Segera Denis berkata,

“Jangan Ton, sebaiknya jangan.”
“Milikku juga milikmu Nis, percayalah.”

Ia diam saja.

“Nis, kamu percaya aku kan?”

Kutengadahkan wajahnya,

“Senyum dong, jangan murung begitu.”

Iapun tersenyum sedikit lalu menundukkan kepalanya lagi.

Tak lama ibu Denis keluar dan bergabung duduk dengan kami. Mungkin ia juga melihat bekas menangis Denis.

Malam itu kami tak kemana-mana. Setelah makan malam kami –Denis, ibunya, Bu Elly dan aku– duduk ngobrol-ngobrol di kamar makan. Kami bercerita tentang berbagai hal. Tentang bisnis ibu Denis, tentang studiku yang hampir selesai dan macam-macam lainnya.

Kemudian kami pun masuk ke kamar.

Di kamar, ibu Denis tidur di tempat tidurku sedang aku dan Denis tidur di kasur yang di gelar di bawah. Lampu kamar kami matikan, tetapi tidak gelap benar karena ada sedikit cahaya dari luar. Udara di kotaku ini memang dingin hingga kami harus menggunakan selimut. Aku dan Denis berada dalam satu selimut. Denis rebah menghadap depan dan aku di belakangnya, seolah-olah membonceng motor. Wangi rambutnya menghambur ke hidungku.

Aku dan Denis pura-pura memejamkan mata tetapi tak lama, setelah beberapa saat tangan-tangan kami mulai “bergerilya” di balik selimut. Denis memakai daster dengan ruitsluting di depan. Aku buka ruitsluiting itu, ia tak memakai BH hingga tanganku bebas meraba-raba buah dadanya. Aku lepas celanaku hingga aku cuma bercelana dalam. Tangan Denis pun menyusup masuk meraba-raba punyaku. Semua itu kami lakukan sepelan mungkin agar ibu Denis tidak mendengar. Tetapi mungkin dia juga mendengar “kesibukan” kami.

Kemudian kami “ngobrol” tanpa mengucapkan suatu katapun. Caranya? Dengan jari aku menuliskan huruf-huruf di telapak tangannya, setiap kali satu huruf, ia menjawab juga dengan cara itu di telapak tanganku. Bila salah tulis kuusap-usap telapak tangannya seolah-olah menghapusnya, ia juga begitu. Sampai sekarang kami masih tertawa kalau ingat cara berkomunikasi itu.

Tak lama kemudian aku mendengar ibu Denis mendengkur. Nah sudah lebih aman sekarang. Denis pun membalikkan badannya menghadap aku. Ia memeluk dan mengecupku. Kulepas celana dalam Denis, dan ia melepas celana dalamku. Ia memegang punyaku dan menggeser-geserkan ke punyanya. Ia menciumi leher dan dadaku.

Lalu ia kembali membelakangiku. Pangkal pahanya diangkatnya sedikit, memberi jalan hingga punyaku bisa menyentuh punyanya dari belakang. Kucari lubangnya dan kudorong, dan masuk. Ia menggelinjang sedikit. Kugerakkan tubuhku ke depan dan ke belakang dengan irama tidak terlalu cepat. Kulakukan itu sambil tanganku meremas-remas buah dadanya. Setelah beberapa saat kurasakan tubuh Denis menegang, ia menggenggam tanganku erat-erat, kudengar desahnya perlahan.

Tak lama kemudian aku pun mengikutinya. Semua terjadi di bawah selimut. Sesaat kemudian Denis bangkit keluar ke kamar mandi membersihkan diri. Setelah Denis kembali, aku menunggu sekitar lima belas menit (agar tak ada yang curiga telah “terjadi sesuatu”), baru aku keluar untuk cuci-cuci. Sekembaliku ke kamar kutuliskan di telapak tangannya “SLEEP WELL” dan kamipun tidur.

Besoknya aku bermaksud mengajak Denis dan ibunya berekreasi. Tetapi ibu Denis berkata ia tidak akan ikut, ia lebih senang tinggal di rumah, ia ingin membantu Bu Elly membuat kue. Apalagi relasi dagangnya berjanji akan datang ke situ.

Kukeluarkan Vespa-ku. Denis mengenakan celana slacks abu-abu dengan baju kaus berwarna krem. Baju kausnya yang ketat itu memperlihatkan lekuk-lekuk badannya.

“Kita kemana Ton?” Tanyanya.
“Kita ke pemandian air panas saja Nis.”

Kuboncengkan Denis dengan Vespa-ku. Udara pagi itu cerah dan segar. Vespa-ku menikung-nikung mendaki jalan pegunungan. Denis di belakangku mendekap aku. Sekitar satu jam kami pun sampai di tempat pemandian air panas. Setelah memarkir Vespa aku membayar karcis dan masuk. Waktu itu bukan hari libur hingga sepi di situ.

Setengah berbisik aku bertanya pada penjaga apakah bisa menyewa sebuah kamar mandi. Sebenarnya ada peraturan yang melarang menggunakan kamar mandi lebih dari seorang, apalagi dengan orang yang berlawanan jenis. Tetapi aku memberi uang lebih dan ia membolehkan aku. Setelah ditunjukkan tempatnya aku dan Denis pun masuk ke kamar mandi itu.

Segera setelah kututup pintu kamar mandi kami langsung berdekapan dan berkecupan. Gairah mulai meluap. Denis membuka celana jeansku. Aku juga membuka celana slacks-nya. Ia membuka bajuku, aku membuka kausnya. Ia memakai celana dalam dan BH berwarna biru muda. Aku juga cuma bercelana dalam berwarna biru muda yang tidak cukup lebar untuk menutupi punyaku yang tegang menyembul keluar.

“Kok warnanya sama, tadi kamu ngintip dulu ya?” candanya.
“Itu namanya kalau jodoh,” jawabku tertawa (tentu saja aku tak sengaja warna celana dalam kami bisa sama).
“Belum-belum kok sudah nongol gitu?” godanya sambil melirik ke bawah.
“Sudah kangen Nis,” bisikku.

Ia maju dan merangkul aku.

Kembali kami berpelukan dan bibir kami saling melumat. Kurasakan ia menempelkan erat-erat tubuh bawahnya ke tubuhku. Lalu ia jongkok di depanku dan melorotkan celana dalamku yang sudah tidak bisa menutupi punyaku itu. Ia mengulum punyaku, ia mengecup dan menjilati rambut-rambut di sekitarnya dan kantung bolaku. Lalu ia bangkit berdiri. Ganti aku jongkok di depannya, kucium perutnya, kuturunkan celana dalamnya dan kulepaskan, lalu kukecup rambut-rambutnya. Aku bangkit berdiri. Kulepaskan kaitannya BH-nya dan tak ada apa-apa lagi di tubuhnya. Kukecupi buah dadanya.

Aku ingat teknik-teknik yang pernah kulihat di blue film dan aku ingin mempraktekkannya. Sambil berdiri Denis merangkulku, lalu kulakukan penetrasi. Kubantu Denis menaikkan kedua kakinya dan sambil kutopang, kedua kakinya itu melingkari tubuhku. Kuayun-ayun tubuhnya. Kami lakukan ini namun tak sampai orgasme. Kucoba pula posisi lain. Denis berlutut dan membungkukkan badannya pada posisi menungging. Aku berlutut di belakangnya. Kupegang pinggulnya dan aku melakukannya dari belakang. Setelah beberapa menit orgasme terjadi, Denis dan aku hampir bersamaan.

Bak mandi sudah penuh dari tadi. Aku dan Denis masuk ke bak mandi. Denis duduk di pangkuanku berhadapan denganku. Kami saling menyabuni tubuh kami, bercanda, bercumbu, sambil menikmati hangatnya air di bak itu.

“Ton, kamu kalau sudah lulus akan bekerja di mana?”
“Kebetulan ada sebuah perusahaan yang sudah mau menampungku Nis. Di kota ini juga. Aku akan bekerja di bagian IT-nya.”
“Senang ya Ton kalau jadi orang pinter. Engga kayak aku ini.”
“Kamu juga ikut senang kok Nis karena kamu akan jadi permaisuriku. Dulu waktu kecil kan kamu selalu jadi permaisuriku, dan sekarang juga.”

Ia tertawa,

“Eh, ada raja rupanya di sini.”

Kumain-mainkan putingnya dengan jari-jariku dan ia menggosok-gosok punyaku hingga tegang kembali. Kembali kudekap dia dan kuciumi dia. Ia mengangkat tubuhnya sedikit lalu kuarahkan punyaku ke lubangnya lalu ia duduk kembali dan punyaku sudah lenyap ditelannya. Dalam rendaman air hangat itu kami kembali menumpahkan kasih sayang kami.

Kami berada di kamar mandi itu satu jam lebih.

Keluar dari situ hampir tengah hari. Kami pergi ke sebuah restoran untuk mengisi perut. Hari masih panjang. Aku belum ingin pulang, di rumah indekos sangat tidak leluasa. Kutanya pada Denis bagaimana kalau mencari hotel untuk beristirahat di sana. Denis tidak keberatan. Kami menuju ke sebuah hotel tak jauh dari situ dan memperoleh kamar dengan kamar mandi shower.

Segera setelah kami masuk kekamar itu, kami segera melepaskan semua yang ada di tubuh kami. Kusergap dia dan kudorong dia ke tempat tidur. Kami melakukannya lagi. Di ruangan itu aku dan Denis bebas melakukan apa saja. Kami mandi bersama sambil bercumbu di bawah siraman air shower yang hangat. Nonton TV bersama. Seluruh waktu kami lewatkan tanpa ada apa-apa yang menutupi tubuh kami. Setelah mencapai suatu orgasme Denis menanyaku,

“Ton, bagaimana kalau sampai jadi?”

Terbersit kekhawatiran di benakku karena aku sebenarnya belum siap untuk itu.

“Anak kita pasti lucu Nis,” jawabku seadanya sambil mengusap-usap perutnya.

Karena lelah kami sempat tidur selama beberapa jam di hotel itu, berpelukan dengan tubuh telanjang. Kami pulang sore hari dan tiba di rumah indekos menjelang gelap. Bu Elly bertanya,

“Kemana saja kalian?”
“Habis berenang dan putar-putar bu.”

Aku bisa menangkap sinar kecurigaan di matanya. Malam itu kami tak banyak melakukan “gerilya” di bawah selimut karena kami sudah cape.

Esoknya aku mengantar Denis dan ibunya ke stasiun untuk kembali ke kotanya. Setelah kusalami ibunya, kuberikan sun pipi pada Denis.

Ia berkata,

“Sukses ya Ton ujiannya. Jangan lupa cepat beri kabar setelah tahu hasilnya.”

2 bulan kemudian.

Tiba saat sidang sarjana. Sejak pagi aku sudah siap dengan kemeja berdasi. Aku sudah berusaha sebaik mungkin mengerjakan tugas akhirku, tetapi toh aku aku tidak bisa melenyapkan rasa tegangku ketika berhadapan dengan tim penguji. Mereka baik tetapi tampak angker sekali. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan dan aku berusaha menjawab semuanya.

30 menit aku harus menunggu keputusan hasil sidang dengan debaran jantungku hingga beberapa kali aku harus ke kamar kecil. Tim penguji kembali masuk ke ruangan dan aku dinyatakan lulus dengan cumlaude. Sorakan meledak di ruangan itu, teman-temanku menyalamiku. Sayang sekali Denis tidak ada di situ. Kukirimkan telegram kepada orang tuaku dan tentu tak lupa pada Denis. Kuterima telegram balasan dari Denis yang menyatakan selamat atas kelulusanku.

Beberapa hari kemudian surat Denis menyusul. Ia menyatakan kebahagiaannya dan keluarganya atas keberhasilanku. Ia juga bercanda,

“Kapan pestanya?” Tetapi aku terhenyak membaca akhir surat,
“Ton, aku sedang bingung. Sudah dua bulan aku tidak mens.”

EPILOG

Sekarang Denis hidup bersamaku dengan dua orang anak. Aku teringat permainanku semasa kecil. Aku pangeran mempersunting Denis, gadis sederhana, menjadi puteri di istanaku. Kemauan belajarnya besar, ia mengambil les komputer, bahasa Inggeris, memasak dan sebagainya. Seperti aku ia juga suka membaca. Aku bahagia memiliki Denis.

Hot Dewasa Bercinta Dengan Kekasih Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 comments:

Post a Comment